NASEHAT SYAIKH SHOLIH FAUZAN AL-FAUZAN

DALAM DHOHIRATU TABDI' WA TAFSIQ WA TAKFIR WA DLOWABITUHA



Syaikh menjelaskan ciri-ciri Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam risalahnya Dhahiratu Tabdi' wa Tafsiq wa Takfir wa Dlowabituha (Bahaya tafsiq, takfir dan tabdi', Pustaka Imam Bukhori) hal 11 sebagai berikut :

"Ciri-ciri ahlus sunnah wal Jama'ah, bahwa mereka satu tangan (ikatan, karena mereka bersaudara. Maka, tidak pernah saling mengkafirkan, memfasikkan dan saling membid'ahkan satu dengan lainnyam karena sikap-sikap itu merupakan ciri khas firqoh-firqoh yang sesat.

Mereka selalu melaksanakan wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, "Barang siapa diantara kalian masih hidup sesudahku, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnahnya para khlaifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk. Berpegangteguhlah dengannya dan gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu, serta jauhilah perkara-perkara yang baru" ((HR Abu Dawud IV/200, Turmudzi VII/318,319, Ibnu Majah I/15-16 dan VII/157 semuanya dari 'Irbadh bin Sariyah Radhiallahu 'anhu).

Maka mereka selalu di atas manhaj Rabbani ini. berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khalifah yang lurus, serta manhaj salafus shaloh. Dan mereka tetap di atas demikian itu -Alhamdulillah- meskipun jumlah mereka sedikit, namun barakh dan penuh kebaikan.

Mereka selalu mengikuti manhajnya Muhajirin dan Anshar dengan baik dan berpegang teguh dengannya, sebagai pengamalan firman Allah Ta'ala, "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS al-Hasyr : 10)

Pada halaman 15, Syaikh menjelaskan Dasar-Dasar Madzhab Ahlus Sunnah wal jama'ah sebagai berikut :

"Dasar-dasar madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah, selamatnya hati dan lisan mereka terhapad para sahabat dan saudara muslim mereka dimana saja dan kapan saja. Mereka selalu berdo'a, "dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."

Mereka mengamalkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, "Salah dari kamu tidak akan beriman (dengan sempurna)hingga mencintai saudaranya seperti halnya mencintai dirinya sendiri." (HR BUkhari I/9 dari Anas bin Malik).

Dan ini merupakan sifat Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Kelompok yang selamat), bahwa mereka selalu berada di manhaj ini, saling melindungi, lemah lembut, saling sayang menyayangi satu tubuh, satu bangunan, satu ummat, yang merupakan ciri Ahlus Sunnah wal Jama'ah."



Kemudian pada halaman 21, Syaikh menjelasakan tentang Munculnya sikap Tabdi', Tafsiq dan Takfir sebagai berikut :

"Sungguh telah muncul pada zaman ini di kalangan para pemuda dan orang-orang Islam yang jahil terhadap hakikat Islam dikarenakan semangat yang meluap dan tidak pada tempatnya, sikap tabdi', tafsiq dan takfir. Hingga kesibukan mereka dalam segala urusan hidup dipenuhi oleh sifat-sifat tercela ini. Membahas aib-aib dan menyebarkannya hingga tersebar luas. Ini merupakan tanda fitnah dan kehancuran. Kita memohon kepada Allah Ta'ala agar menjaga kaum Muslimin dari kejelekannya dan mengarahkan para pemuda muslim pada jalan yang benar dan menganugerahkan amal di atas manhaj salafus sholih, meniti di atasnya serta menjauhkan mereka dari da'i-da'i jahat."



Pada halaman 51, Syaikh menjelaskan kesimpulan beliau sebagai berikut :

"Sesungguhnya perkataan tafsiq, tabdi' dan takfir adalah kalimat kotor yang tidak akan hilang begitu saja. Bila kata-kata itu dilontarkan kepada manusia, maka akan mempunyai dampak.

"Bila seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh akan kembali ucapan itu kepada salah satu dari keduanya" (HR Bukhari VII/97 dari Abi Hurairah)

"Barangsiapa yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti membunuhnya dan barangi siapa yang menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya." (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin Dhihah).

Maka jika seseorang berkata kepada saudaranya: Hai si Fasiq, hai si Kafir, hai musuh Allah, sedangkan orang itu tidak demikian, maka akan kembali ucapan itu kepada yang berkata. Seperti perkataan seseorang: Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah berfirman :

"Barang siapa menyangka kepada-Ku tidak akan mengampuni fulan, sungguh aku telah ampuni dia dan aku hapuskan amalmu." (HR Muslim IV/2023 dari Jundab)

Padahal ini satu kalimat, maka bagaimana bila lebih daripada itu?

"Bisa jadi seorang hamba berkata dengan satu perkataan yang bisa menjerumuskan dia di neraka lebih jauh antara arah timur dan barat." (HR Bukhari VII/184 dari Abi Hurairah)

kalau begitu meskipun satu kalimat, maka itu sangat berbahaya.

Maka sesunguguhnya orang-orang yang melontarkan ucapan-ucapan kepada para ulama dengan tuduhan tafsiq, tabdi' dan takfir tidak akan membahayakan para ulama tersebut, tetapi justru membahayakan diri mereka sendiri. Karena para ulama memiliki kedudukan, ilmu dan kehormatan, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka yang telah mereka lakukan untuk Islam dan Muslimin. Adapun tuduhan itu akan kembali kepada orang-orang yang menuduh.

Maka wajib bertakwa kepada Allah orang-orang yang suka melontarkan tuduhan kepada para ulama baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Karena Allah Sunhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan ummat untuk tidak ikut-ikutan pada orang tersebut.

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (Al-Hujurat : 6)

Makna kata fatabayyanu adalah mencari kejelasan dari ucapan mereka dan tidak langsung menerima ucapan mereka.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Hujurat : 11)

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang" (al-Hujurat : 12)
Allah melarang su'udhan kepada orang-orang muslim secara umum, maka bagaimana bila itu ditujukan kepada ulama? Oleh karena itu, su'udhan kepada ulama merupakan dosa besar. Karena mereka pewaris para nabi. Dan bila ummat ini tidak percaya pada ulamanya, maka kepada siapa mereka hendak percaya.

Kata-kata 'wa laa tajassasuu yakni jangan membicarakan aib muslimin yang seharusnya ditutupi. Yakni, bahwa makan daging bangkai itu tidak lebih hina daripada melontarkan tuduhan (ghibah) kepada para ulama, karena mereka sebaik-baik ummat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Ghibah itu kamu menyebut saudaramu tentang apa-apa yang dia tidak suka. Mereka bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika yang ada pada saudaraku itu seperti yang aku katakan?, Rasulullah menjawab, JIka padanya seperti yang kamu sebutkan, itulah yang dinamakan ghibah. Dan jika tidak ada padanya maka berarti kamu telah menuduhnya." (HR Muslim IV/200 dari Abi Hurairoh).

Jika orang yang mengatakan itu tidak terlepas dari dua hal, baik sebagai penggibah ibarat memakan bangkai atau penuduh yang dusta."

Pada halaman 57, Syaikh menyatakan wajibnya memberikan nasihat sebagai berikut :

"Dari sini wajib bagi Muslimin untuk memberikan nasehat kepada orang-orang yang panjang lidah, dan mengingkari mereka dengan sekeras-keras pengingkaran serta mencegah upaya-upaya mereka. Sehingga mereka kembali kepada kebenaran dan Jama'ah kaum muslimin selamat dari dosa dan adzab. Maka nasihatilah mereka, karena agama itu nasehat. Karena ucapan mereka itu mengandung bahaya terhadap ummat Islam yang bisa memecah belah keutuhan dan melemahkan jama'ah mereka, membangkitkan permusuhan dan menghapuskan kepercayaan dari ulama kaum muslimin. sedangkan hilangnya kepercayaan antara ummat da para ulama itu adalah musuh yang etrbesar hingga akan menghilangkan manfaat yang besar dari ilmu agama ini. Oleh karena itu wajib bagi orang-orang yang mengikuti jejak para ulama untuk bertaubat kepada Allah dan menghentikan langkah ini, karena itu merupakan langkah setan.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan" (an-Nur : 21)

Maka, kita dan kaum muslimin wajib bertaubat kepada Allah dan menumbuhkan rasa cinta di antara ummat Islam, serta menjauhkan segala yang menyebabkan kedengkian dan perpecahan serta kebencian diantara mereka.

Dan aku minta ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu, serta seluruh ummat Islam. Aku memohon kepada-Nya agar memberikan petunjuk kepada kita dalam beramal sholih dan menjadikan amal kita ikhlash karenanya. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alahi wa Sallam, keluarganya dan seluruh sahabatnya.



TANYA JAWAB BERSAMA SYAIKH FAUZAN SEPUTAR MASALAH INI

Pertanyaan : Bagaimanakah batasan bid'ah dan kapan seseorang disebut sebagai mubtadi'?

Jawab : Bid'ah adalah seperti yang disabdakan Nabi : barangsiapa mengada-adakan pada urusan kami yang tidak ada padanya maka tertolak (HR Bukhari III/167 dari Aisyah). segala yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat. Sedangkan bid'ah itu adalah setiap sesuatu yang tidak ada dasarnya dari al-Kitab maupun as-Sunnah, baik dalam masalah ibadah atau fikiran dan sebagainya, baik dalam ucapan, amalan atau keyakinan dan lain-lain.

Pertanyaan : Bila memperingatkan kebid'ahan akan menimbulkan fitnah, maka apakah berarti diam berarti lebih utama? atau tetap memperingatkannya meskipun terjadi apa yang akan terjadi?

Jawab : Cukup cerdik (penanya ini penting). Bila diperkirakan lebih besar madharatnya daripada mashlahatnya, maka di sana melakukan kemudharatan yang lebih ringan dalam rangka menolak madharat yang lebih besar adalah lebih tepat. Akan tetapi tidak boleh diam dalam menjelaskan dan berdakwah kepada Allah dengan nasehat yang baik dan mengajari manusia sedikit demi sedikit. "Bertakwalah kepda Allah sekemampuanmu" (at-Taghabun : 16). Maka jia menampakkan keingkaran akan terjadi mafsadah (fitnah) yang lebih besar, maka kita jelaskan dan kita terangkan kepada manusia itu hingga mau meninggalkan kebid'ahan dari pribadi-pribadi. "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik" (an-Nahl : 125). Orang jahil harus dimulai dengan hikmah dan lunak. Bila kita lihat dirinya berpaling maka dinasehati dan ditakut-takuti dengan ancaman Allah. Bila kita lihat dia tidak menerima kebenaran dan malah membantah serta menolaknya dengan
alasan-alasan, maka dipatahkan dan dibantah dengan alasan-alasan itu dengan cara yang lebih baik. Walhasil bahwa kaidah secara syar'i memperbolehkan melakukan kemudharatan yang lebih ringan untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar. Karena mencegah timbulnya kemadharatan itu lebih didahulukan daripada menjalankan kemaslahatan. Akan tetapi ini bertahap. Maka kita bermuamalah dengan mereka orang-orang yang melakukan kebid'ahan itu. Kita bermasyarakat dengan mereka secara baik dan lunak, kita jelaskan kepada mereka bahwa ini salah dan tidak boleh dilakukan, sering-sering kita ingatkan, maka Allah akan memberikan hidayah kepada orang yang Dia kehendaki. Maka mereka akan bisa membekas dengan nasehat dan peringatan. Mereka akan tinggalkan kebid'ahan itu dari diri mereka sendiri. Kita berikan jaminan kepada mereka demi keberhasilan dakwah. Kita tempatkan hikmah pada tempatnya, nasehat pada tempatnya dan kita tempatkan ketegasan pada tempatnya. Demikianlah seharusnya yang ada pada
da'iyah ilallah di setiap tempat dan kesempatan.

Pertanyaan : Kami menginginkan penjelasan darimu ya syaikh tentang prinsip-prinsip salaf dalam menyikapi ahli bid'ah, jazzakumullahu.

Jawab : Orang-orang salaf tidak membid'ahkan setiap orang dan tidak melemparkan kata bid'ah kepada setiap orang yang melemparkan kata bid'ah kepada setiap orang yang menyelisihi sunnah. Mereka mensifati bid'ah hanya pada orang yang melakukan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa dalil. Tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, "Barang siapa yang beramal tanpa ada perintah dari kami, maka tertolak." Bid'ah adalah melakukan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam, inilah bid'ah. Bila seseorang telah nyata melakukan bid'ah dalam agama dan tidak mau kembali, maka sesungguhnya manhaj salaf menghajrnya, menjauhkan diri darinya dan tidak bermajelis dengannya. Inilah manhaj mereka. Akan tetapi seperti yang aku sebutkan yaitu sesudah ada kejelasan bahwa dia mubtadi'., sesudah dinasehati dan tidak mau kembali dari kebid'ahannya. Maka, saat itulah dia
dihajr supaya bahayanya tidak menimpa pada orang yang duduk atau berhubungan dengannya, karena manusia sudah diperingatkan dari ahli bid'ah dan bid'ah-bid'ahnya. Adapun berlebihan dalam menilai bid'ah pada setiap orang yang menyelisihi pendapat, kemudian dikatakan 'orang ini mubtadi'!. Setiap orang menilai lainnya mubtadi', padahal dia tidak mengada-ada dalam agama sedikipun, kecuali sekedar menyelisihi pendapat seseorang atau menyelisihi jama'ah yang lain, maka bukanlah orang ini mubtadi'. Orang yang melakukan perkara yang haram atau maksiat disebut ahli maksiat dan tidak setiap ahli maksiat disebut dengan mubtadi'. Tidak setiap orang yang salah mubtadi' karena mubtadi' itu orang yang mengada-adakan dalam agama yang tidak ada dalilnya. Inilah mubtadi'. Adapun berlebihan menjuluki bid'ah secara umum kepada setiap orang yang menyelisihi pendapat orang lain, maka ini tidak benar, dan bukan dari manhaj salaf. (Lihat kitab Hijrul Mubtadi' oleh Syaikh Bahan bin Abdullah).



Dalam Sahab li fatawa Islamiyyah no 335

(dialihbahasakan oleh Abu Salma dari sahab.net)

Syaikh Sholih Fauzan ditanya tentang dakwah khowarij dan mu'tazilah yang menyebarkan kekerasan dan takfir kepada kaum Muslimin, syaikh menasehatkan sebagai berikut :

Hal ini adalah Manhaj yang khothi', karena Islam melarang dari kekerasan dalam dakwah. Allah Ta'ala berfirman : "Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau'idhah hasanah dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (an-Nahl : 125). Dan Allah berfirman pula pada Musa dan Harun 'alaihimas salam yang akan berhadapan dengan Fir'aun, "Dan katakanlah (wahai kamu berdua) kepadanya (Fir'aun)perkataan yang lembut semoga dia ingat dan takut" (Thoha : 44).

(Ingatlah) kekerasan hanya menemui kekerasan, dan tidaklah akan menghasilkan sesuatu melainkan lawan dari yang diinginkan, sehingga akan membekas pada kaum muslimin keburukannya. Yang diinginkan adalah da'wah dengan hikmah dan dengan cara yang baik, dengan menggunakan ar-Rifru (kelemahlembutan) terhadap mad'u. Adapun menggunakan kekerasan terhadap mad'u dan tasyaddud serta bengis, maka cara ini bukanlah cara Islam!!! Wajib bagi setiap Muslim untuk menempuh da'wahnya dengan manhaj Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan dengan tuntunan al-Qur'an dan as-Sunnah...!!!

0 komentar:

Posting Komentar